PARLEMENTARIA, Jakarta – Meski Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah disahkan, kasus KDRT dinilai konsisten masih tetap tinggi. Terbukti, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kasus perceraian karena faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia pada 2023 mencapai 5.174 kasus. Angka itu naik 4,06% dari tahun sebelumnya yang sebesar 4.972 kasus.
Menanggapi, Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani menekankan pentingnya dukungan solid seluruh pemangku kepentingan demi menciptakan masyarakat yang adil dan berperikemanusiaan. Pernyataan ini disampaikan kepada Parlementaria melalui rilis, Jakarta, Rabu (14/8/2024).
“Pemerintah, bersama dengan seluruh stakeholder terkait, dan tentunya masyarakat, harus berkomitmen untuk memerangi KDRT agar tercipta lingkungan keluarga yang bebas dari kekerasan,” tegas Puan.
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menyoroti soal sistem penanganan kasus isu KDRT. Ia menilai tidak banyak orang yang berani untuk ikut campur meski mengetahui atau melihat sendiri peristiwa kekerasan tersebut. Hal ini terjadi, menurutnya, kekerasan dalam rumah tangga sering dipandang sebagai masalah ranah pribadi.
“KDRT ini kan menjadi isu yang sulit diatasi karena berbagai faktor yang membentuk budaya dan norma sosial. Jadi, si pelaku akan merasa dapat bertindak semaunya tanpa khawatir akan konsekuensi hukum dengan keyakinan, ini kan masalah rumah tangga. Padahal KDRT adalah tindak pidana yang ancamannya hukumannya cukup besar juga. Harusnya norma hukum ini menjadi norma utama yang diperhatikan,” jelas Mantan Menko PMK ini.
Salah satu kasus KDRT yang memperoleh sorotan kuat publik terkini ialah peristiwa KDRT yang menimpa oleh korban Cut Intan Nabila. Menurutnya, keputusan yang diambil oleh korban bisa menjadi katalis untuk perubahan sistemik. Hanya saja, terangnya, belum cukup kuat untuk mengubah norma dan stigma yang sudah mengakar di masyarakat.
“Memang perlu ada gerakan yang berani untuk memberantas KDRT ini. Stigma atau reaksi negatif dari lingkungan sekitar justru menjadi sebuah ancaman bagi korban yang sebenarnya ingin berbicara. Dan ini tidak benar,” papar Puan.
Terlepas dari hal itu, ia menilai budaya baru berupa pengawasan dari publik melalui platform media sosial dapat mengubah stigma pembenaran KDRT. “Sisi positif dari kemajuan teknologi dapat membantu korban bersuara, dan dibela oleh masyarakat luas. Netizen menjadi pengawas terhadap hal-hal di luar kewajaran. Saya kira ini perkembangan yang baik,” imbuhnya.
Tidak ingin jumlah korban bertambah, Puan meminta pemerintah mengedukasi lewat sosialisasi supaya terbentuk kesadaran di setiap lapisan masyarakat bahwa KDRT adalah isu yang harus diperangi bersama. Seperti gunung es, kasus KDRT harus turut dilawan dengan dukungan layanan optimal, baik dari sisi preventif dan kuratif seperti rumah aman, konselor, visum gratis, hingga BPJS bagi korban kekerasan.
“Pemerintah harus melakukan kampanye nasional perihal KDRT agar mengubah norma sosial dan stigma yang mengelilingi KDRT. Ini untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi korban agar berani melapor dan meminta bantuan. Selain itu, pendidikan dan kesadaran publik mengenai KDRT harus diperluas dan itu penting karena korban biasanya tidak berani buka suara karena takut terhadap judgement sosial” urai Puan.
Menutup pernyataannya, kolaborasi antar-Kementerian/lembaga dan organisasi non-Pemerintah harus diperkuat secara efektif dan efisien. Upaya ini, tegasnya, harus dilakukan agar penanganan kasus KDRT ditangani secara holistik demi menciptakan sistem yang lebih solid untuk melawan tindak kekerasan dalam rumah tangga.
“KDRT harus dapat ditangani hanya dengan tindakan tegas dan komprehensif,” pungkasnya.(*)
Sumber : PARLEMENTARIA